![]() |
Post : Beny Giay Saat Bedah Buku di Paniai |
JAYAPURA (PAPUA) - Ketua Sinode
Gereja Kingmi di Tanah Papua, Pendeta Dr.Benny Giay mengungkapkan, pengalaman
kelam orang Papua semenjak proses integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) bakal terus berlanjut. Ada kesan umum, selama ini tidak ada
itikad baik Indonesia terhadap Papua.
“Suara rakyat kampung selalu
menggema itu karena atas dasar pengalaman. Jadi, kalau ikuti dan renungkan
kenyataan yang ada, ternyata benar pemerintah negara ini tra mau kita
berkembang,” ujarnya di sela-sela launching buku berjudul "Ekonomi
Owaada" di Kampus Institut Sosial dan Studi Pastoral (ISSP) Zakheus
Pakage, Paniai, Sabtu (14/01/2012).
“Semua kebijakan yang Jakarta
bikin dan turunkan di Papua, baik di atas kertas, tetapi dalam realisasinya?
Kita lihat tidak ada yang berhasil. Peraturan dan kebijakannya selalu tumpang
tindih, ini tandanya bahwa dorang bikin kacau Papua. Belum lagi pendekatan
militer yang terus diterapkan, lama-lama orang Papua habis,” kata Benny.
Menurut Benny, niat busuk itu
sudah terbaca. Otonomi Khusus (Otsus) sebagai respon terhadap menguatnya
aspirasi Papua Merdeka, tapi hasilnya kan tidak dirasakan, implementasinya
tidak berhasil. "Sekarang dorang munculkan Uni Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Ini binatang apalagi yang Jakarta mau
terapkan di Papua?,” tanyanya. Kata Benny, ia dan beberapa
petinggi gereja di tanah Papua baru-baru ini telah menyampaikan di hadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbagai persoalan krusial serta apa mau
orang Papua.
Menurut Benny, hal itu bagian
dari suara kenabian, menyuarakan keluh kesah dan jeritan umat Tuhan di tanah
Papua. Tak bisa disangkal lagi, kata Benny, orang Papua terus “diserang” dari
berbagai sudut. “Di bidang ekonomi, misalnya, kita sudah terjajah diatas negeri
kaya raya ini," katanya. Satu pekerjaan penting yang
kita lakukan, kata Benny, adalah kembali ke kampung, ke rumah masing-masing,
hidupkan budaya kerja, kembangkan Owaada. Bikin kebun, kasih pagar, buat beden,
di situ kita tanam nota (petatas), nomo (keladi), digiyo-napo (sayur hitam),
eto (tebu), umbi-umbian seperti dee, momai, apuu, dan lain-lain. "Kalau kita sudah mulai,
kita kerja dan tanam, kita bisa hidup dari situ. Ini upaya riil untuk kita
putuskan mata rantai ketergantungan pada beras dan semua barang impor dari luar
Papua,” kata Benny. Memutus sifat ketergantungan
itu, kata Benny, memang agak sulit dalam waktu singkat. Tetapi bagaimana
berusaha mencoba dan terus mencoba, adalah baik hasilnya di kemudian hari.
“Saya selalu katakan ini, ingatkan sama jemaat bahwa kita harus mandiri,"
katanya. Untuk mandiri itu tidak bisa
berharap pada orang lain, dari pemerintah atau siapapun. "Kita harus
kerja, hidup dari jerih payah sendiri, itu jauh lebih puas, rasanya akan
tenang. Jadi, ini yang penting untuk kita mulai, dari sekarang,” ungkapnya.
Perubahan dari keluarga
Benny kemudian minta kepada
para pendeta agar pewartaan Firman Tuhan harus menyentuh nurani dan kebutuhan
umat setempat. Dari Mimbar Gereja umat diajak untuk bekerja, berbuat sesuatu,
dan dengan begitu, pasti ada perubahan.
“Berubah untuk menjadi kuat,
itu motto kita, akan nyata kalau bisa laksanakan dalam kehidupan sehari-hari,
dalam keluarga kita,” pintanya.
Salah satu dosen ISSP Paniai,
Benny Makewa Pigai, menilai ajakan Ketua Sinode Kingmi Papua relevan dengan
konsep pemikiran dalam bukunya yang baru saja diluncurkan. Buku “Ekonomi Owaada
Dimulai Dari Halaman Rumah Tiap Keluarga”, katanya.
Setidaknya, kata Makewa, bisa
dijadikan acuan dalam melangkah ke depan, membangkitkan budaya kerja di tengah
perkembangan jaman modern yang penuh tantangan ini. “Sebagai kajian ilmiah,
buku ini setidaknya memberi kontribusi pemikiran akan pentingnya budaya Owaada
bagi kita orang Papua, khususnya Suku Mee.”
Bagi Makewa, Owaada adalah
budaya Suku Mee. Bagaimana membangun keluarga, masyarakat, pemerintah dan
Gereja, dengan berlandaskan Owaada menjadi sangat penting dilakukan di masa
kini, dalam menghadapi perubahan jaman. Gerakan Owaada itu sendiri mulai
digalakan Gereja Katolik Dekanat Paniai sejak tahun 2005 silam, kemudian
diikuti Gereja Kingmi Tanah Papua di Paniai. Ini upaya menyikapi fakta yang
dihadapi masyarakat.
“Owaada menjadi satu
spiritualitas hidup Suku Mee dalam menghidupkan budaya kerja sebagai solusi
tepat saat ini. Ekonomi Owaada harus dimulai dari keluarga kita masing-masing.
Memanfaatkan pekarangan rumah secara maksimal agar kebutuhan pangan keluarga
tercukupi,” kata mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Paniai yang kini
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Nabire. Ini juga diaminkan Wakil Ketua
Komnas HAM Perwakilan Papua, Matius Murib, yang didaulat sebagai moderator pada
launching buku tersebut. “Penting sekali melestarikan dan menghidupkan
nilai-nilai hakiki budaya suku-suku asli di Tanah Papua, apalagi saat ini kita
ada di tengah derasnya arus modernisasi.” Matius mencatat, orang Papua
selama ini selalu menghadapi berbagai persoalan. Hingga kini banyak kasus
pembunuhan.
Pemenuhan hak-hak warga sipil belum optimal. Negara belum menjamin
hak-hak itu. Maka, upaya mempertahankan jati diri dengan segala kearifan luhur
adalah sangat urgen dilakukan setiap orang di saat negara dilanda krisis multi
dimensi. “Hanya oleh kita sendiri, kita
bisa jaga jati diri, jaga kelangsungan hidup kita di negeri kaya ini. Jadi,
pegang dan kembangkan budaya luhur kita. Hidup akan terombang-ambing jika kita
tidak lestarikan adat dan budaya luhur. Kita akan lapar kalau kita tidak kerja.
Bukan hanya kata-kata atau bicara saja, tetapi nilai-nilai yang diwariskan
turun temurun itu mesti direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari kita,” tutur
Matius. (TabloidJubi)
Pemerintah Indonesia Tidak Ingin Papua Maju
02.42.00